Ada kepercayaan yang tertanam dalam benak sebagian orang bahwa IQ anak-anak berkaitan dengan urutan kelahiran. Selama ini bunda pasti pernah mendengar bahwa anak bungsu cenderung lebih bodoh dari kakak-kakaknya. Ada sebagian orang yang percaya, tapi ada pula yang tidak. Lantas pendapat apa yang benar? Apa benar anak bungsu lebih bodoh? Apakah memang ada kaitan antara urutan anak dengan kepintaran seseorang? Bayangkan saja bagaimana rasanya bila anda anak bungsudikatakan bodoh hanya gara-gara urutan kelahiran kita kebetulan di urutan terakhir. Dengan kata lain Anda yang merasa sebagai anak bungsu wajib bersedih karena anda merupakan urutan terakhir dari kepintaran alias yang paling bodoh. Anda tidak perlu bersedih. Apalagi sampai menyesal dilahirkan sebagai anak bungsu. Karena rupanya tidak ada kolerasi antara urutan anak dengan kecerdasan/kepintaran. Hal tersebut hanya mitos. Sebuah penelitian baru membuktikan teori itu merupakan anggapan yang salah total bahwa semakin mereka (urutan kelahiran paling akhir), anak-anak akan semakin tidak cerdas. Pun seterusnya, anak nomor dua tidak akan selalu lebih pintar daripada anak nomor tiga.
Sponsor: perawatan wajah terbaik
Baik jumlah anak pada keluarga maupun urutan kelahiran seorang anak dalam keluarga tertentu tidak dapat meramalkan tingkat IQ seorang anak. Kecerdasan tidak ada pengaruh jumlah anggota keluarga atau oleh nomor urutan kelahiran keluarga. Melainkan faktor seperti warisan genetika, IQ orang tua, jumlah bacaan yang disediakan di rumah dan mutu sekolah justeru lebih penting untuk menentukan kecerdasan anak-anak. Seorang penulis studi tersebut Joseph Lee Rodgers, psikolog dari Universitas Oklahoma mengatakan, “Sebenarnya sebuah keluarga kemungkinan akan menyebarkan sumber kecerdasan ke sebanyak apapun anak yang mereka miliki”. Temuan tersebut ada pada American Psychologist, yang diterbitkan Asosiasi Piskologi AS.
Rodgers bersama para rekannya asal universitas lain menganalisa temuan data-data dari tes inteligensi yang diberikan kepada sekitar 2.500 anak dengan usia 5 hingga 15 tahun dari jumlah sekitar 1.300 keluarga. Mereka mengumpulkan informasi tersebut dari “National Longitudinal Survey of Youth”. Yaitu sebuah penelitian yang sedang berjalan serta didanai pemerintah. Di mana fungsi dari penelitian tersebut sebagai informasi kepada peneliti tentang banyak jenis topik keluarga. Kunci terhadap temuan mereka yakni metode yang disebut analisis “dalam-keluarga” dan membandingkan anggota-anggota keluarga satu sama lain.
Ada pula penelitian yang mana hasilnya ada hubungan tingkat kecerdesan dengan urutan kelahiran. Namun penelitian itu terdapat cacat dalam prosesnya. Rodgers mengungkapkan kalau lebih sering pada studi tersebut tentang topik ini telah menggunakan analisis “lintas-keluarga”. Yang mana dengan membandingkan satu anak dari satu keluarga dengan anak lain dari keluarga selainnya. Padahal jika memang ingin membandingkan seharunya berasal dari keluarga yang sama. Bukan dari keluarga berbeda Misalnya, anak kedua dalam satu keluarga mungkin ditemukan lebih cerdas ketimbang anak ketiga dari keluarga lainnya, sehingga ini telah menghasilkan kesimpulan bahwa urutan kelahiran mempengaruhi tingkat kecerdasannya, jelas Rodgers. Tetapi ketika membandingkan anak-anak dalam keluarga yang sama dapat memperjelas bahwa urutan kelahiran dan kecerdasan anak tidak mempunyai hubungan. Pun besarnya keluarga tidak ada kaitannya dengan kecerdasan anak. Maka darinya metode tersebut menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang keliru.
Kenapa ukuran lintas-keluarga telah sering digunakan di masa lalu? Sebab para peneliti jauh lebih mudah dengan mengumpulkan data dari beberapa keluarga daripada informasi dalam-keluarga “Sangat sulit mendapatkan data yang mencerminkan keadaan dalam keluarga, untuk membandingkan anak pertama dengan anak kedua dalam keluarga yang sama,” kata Rodgers. “Bayangkanlah betapa sulitnya, bukan hanya meminta satu anggota keluarga selama dua jam dari waktunya, tetapi kemudian meminta apakah seluruh keluarga itu dapat diwawancarai dengan menyediakan waktu yang begitu lama dan apakah masing-masing mau dites secara luas setiap dua tahun sekali”, jelas Rodgers lagi.
Jordan Gragman yang berperan sebagai ketua ilmu saraf kognitif di Lembaga Nasional Penyimpangan Saraf dan Stroke, mengungkapkan temuan baru dari Rodgers sangatlah masuk akal. Setiap kali orang melaporkan temuan evolusi, kita kerap mencari alasan secara biologis untuk menjelaskan hal tersebut. Dan katanya, asumsi bahwa kecerdasan akan berkurang pada diri setiap anak urutan terlihat bertentangan dengan alasan mengapa banyak orang mempunyai keluarga besar. Sebab alasan mereka memiliki banyak anak yaitu guna membantu mempertahankan kelangsungan ekonomi keluarga.
Rasanya alasan terakhir sangat memungkinkan. Harapan orang tua pasti menginginkan anaknya sukses. Anak yang sukses akan membantu mempertahankan atau bahkan semakin memperkuat perekonomian keluarga. Semakin banyak, akan kian memperkuat.
Secara garis besar, menurut ahli gizi di salah satu fakultas kedokteran Indonesia, ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan anak, yaitu berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Di antaranya yakni faktor genetika, asupan nutrisi anak, stimulasi yang diberikan pada anak, aktivitas fisik, dan upaya menjaga kesehatan. Dan faktor genetika hanya berperan sekitar 5%. Sementara faktor lainnya bisa berpengaruh hingga 95%. Ini artinya, meskipun secara genetic anak kurang cerdias, tetap bisa ditingkatkan lagi. Misal dengan memenuhi asupan gizi harian, sering melatih anak dengan memberi stimulus supaya anak belajar. Serta cara selainnya.